Senin, 27 Januari 2014

Mempertahankan Identitas Seorang Muslim

Mempertahankan Identitas Muslim di
Tengah Derasnya Arus Globalisasi Mode
Para pembaca, sesungguhnya agama
Islam tidak melarang seseorang mencari
sumber penghidupan, namun
hendaknya semua itu tidak sampai
membuatnya lupa mencari kebahagiaan
negeri akhirat. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
ﻭَﺍﺑْﺘَﻎِ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺁﺗَﺎﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﺪَّﺍﺭَ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨﺲَ
ﻧَﺼِﻴﺒَﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ۖ ﻭَﺃَﺣْﺴِﻦ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ۖ
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺒْﻎِ ﺍﻟْﻔَﺴَﺎﺩَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ۖ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ
ﺍﻟْﻤُﻔْﺴِﺪِﻳﻦَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan oleh Allah
kepadamu (kebahagian) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (al-Qashash: 77)
Adapun godaan syubhat yang berupa
kerancuan berfikir, tidak kalah
dahsyatnya dengan godaan syahwat.
Aliran-aliran sesat bermunculan,
kesyirikan dipromosikan tanpa ada
halangan, para dukun alias orang pintar
dijadikan rujukan, ngalap berkah di
kuburan para wali menjadi tren wisata
religius, dan praktik bid’ah (sesuatu
yang diada-adakan) dalam agama
meruak dengan dalih bid’ah hasanah.
Semua itu mengingatkan kita akan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam,
ﺑَﺎﺩِﺭُﻭﺍ ﺑِﺎﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﻓِﺘَﻨًﺎ ﻛَﻘِﻄَﻊِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺍﻟْﻤُﻈْﻠِﻢِ، ﻳُﺼْﺒِﺢُ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ ﻭَﻳُﻤْﺴِﻲْ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ ﻭَﻳُﻤْﺴِﻲْ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ
ﻭَﻳُﺼْﺒِﺢُ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ، ﻳَﺒِﻴْﻊُ ﺩِﻳْﻨَﻪُ ﺑِﻌَﺮَﺽٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
Artinya: “Bergegaslah kalian untuk
beramal, (karena akan datang) fitnah-
fitnah (godaan/ujian) yang seperti
potongan-potongan malam. Di pagi hari
seseorang dalam keadaan beriman dan
sore harinya dalam keadaan kafir; di
sore hari dalam keadaan beriman dan
keesokan harinya dalam keadaan kafir.
Dia menjual agamanya dengan sesuatu
dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR .
Muslim no. 118, dari sahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu )
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al- Madkhali
Hafizhahullah berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang
yang jujur lagi terpercaya, telah
memberitakan kepada kita dalam banyak
haditsnya, termasuk hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu (di atas, -
pen.) tentang bermunculannya berbagai
ujian di tengah-tengah umat ini.
Sungguh, telah datang berbagai ujian
besar yang sangat kuat empasannya
terhadap akidah dan manhaj (prinsip
beragama) umat Islam, mencabik-cabik
keutuhan mereka, menyebabkan
pertumpahan darah di antara mereka,
dan menjatuhkan kehormatan mereka.
Bahkan, benar-benar telah menjadi
kenyataan (pada umat ini) apa yang
disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam,
ﻟَﺘَﺘَّﺒِﻌُﻦَّ ﺳَﻨَﻦَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺷِﺒْﺮﺍً ﺑِﺸِﺒْﺮٍ ﻭَﺫِﺭَﺍﻋﺎً
ﺑِﺬِﺭَﺍﻉٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﻮْ ﺩَﺧَﻠُﻮﺍ ﺟُﺤْﺮَ ﺿَﺐٍّ ﻟَﺘَﺒِﻌْﺘُﻤُﻮْﻫُﻢْ
Artinya: “Sungguh, kalian akan
mengikuti jalan/jejak orang-orang
sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani, -
pen.) sejengkal dengan sejengkal dan
sehasta dengan sehasta1. Sampai-
sampai jika mereka masuk ke liang
binatang dhab (sejenis biawak yang
hidup di padang pasir, -pen.) pasti kalian
akan mengikutinya.”
Lebih lanjut, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali hafizhahullah berkata,
“Saat ini di berbagai negeri kaum
muslimin telah bermunculan berbagai
musibah/ujian, seperti komunisme,
liberalisme, sekulerisme, ba’ts
(sosialisme), dan demokrasi dengan
segala perangkatnya. Kelompok sesat
Syi’ah Rafidhah dan Khawarij pun
semakin gencar mengembuskan racun-
racun yang dahulu mereka sembunyikan,
sebagaimana muncul pula kelompok
sesat Qadiyaniyah dan
Bahaiyah.” (Haqiqah al-Manhaj al-Wasi’
‘Inda Abil Hasan, hlm. 2)
Diantara dampak modernisasi di era
globalisasi ini adalah munculnya sikap
minder dalam berislam. Dengan
banyaknya opini yang menyudutkan
Islam di media massa baik cetak
maupun elektronik, sebagian umat
muslim tidak punya percaya diri untuk
sekadar menampakkan identitas
muslimnya, apalagi untuk menjalankan
rincian ajaran agama yang
berkonsekuensi mendapat cibiran atau
gunjingan orang. Dalam benaknya,
cukuplah identitas muslim itu dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau
dalam ritual-ritual di momen penting
seperti shalat Jum’at, shalat tarawih,
dan shalat hari raya saja.
Bayang-bayang bahwa Islam itu
kampungan, masyarakat muslim identik
dengan keterbelakangan, dan
menerapkan rincian ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari akan
menyebabkan keterpurukan, lekat pada
benak sebagian umat muslim. Bahkan,
sebagian orang tua muslim sangat
khawatir jika putra atau putrinya mulai
tertarik belajar agama. Apa yang
dikhawatirkan? Khawatir jadi teroris.
Subhanallah, padahal Islam bukan
teroris dan teroris bukan dari Islam. Di
antara dampaknya, tidak sedikit putra-
putri muslim hidup tanpa bimbingan
yang benar. Pergaulan bebas menjadi
satu kewajaran di tengah-tengah
mereka. Memakai jubah, sarung, baju
koko, kopiah, dan atribut muslim
lainnya sangat berat rasanya. Di sisi
lain, memakai pakaian ala barat
seakan-akan menjadi kebanggaan. Di
kalangan pemudi, tidak jauh berbeda
halnya. Memakai jubah, jilbab, dan
atribut muslimah lainnya sangat berat
rasanya. Adapun memakai pakaian ala
barat yang serba minim dan pamer
aurat justru menjadi kebanggaan.
Wallahul Musta’an .
Kewajiban Mempertahankan Identitas
Muslim
Minimnya ilmu, tipisnya iman, dan
kuatnya dorongan hawa nafsu kerap
kali menutup pintu hati seseorang untuk
memahami hakikat kehidupan dunia
yang sedang dijalaninya. Godaan
syahwat dan syubhat di era globalisasi
modern ini tak jarang menjadikan
seorang muslim jauh dari agama Islam
yang murni. Padahal agama Islam
adalah bekal utama bagi seseorang
dalam hidup ini. Dengan Islam
seseorang akan hidup bahagia dan
terbimbing dalam menghadapi pahit
getirnya kehidupan. Sebaliknya, tanpa
Islam hidup seseorang tiada berarti dan
di akhirat termasuk orang yang merugi.
Namun sayang, di antara manusia ada
yang menggadaikan Islam yang
merupakan agama dan bekal utamanya
demi kesenangan dunia yang sesaat.
Betapa meruginya orang itu. Dia akan
menghadap Allah Subhanahu wata’ala
di hari kiamat dengan tangan hampa
dan terhalang dari kebahagiaan yang
hakiki. Setiap muslim berkewajiban
mempertahankan identitas muslimnya.
Lebih dari itu, dia pun harus berupaya
untuk masuk ke dalam agama Islam
secara total kemudian istiqamah di
atasnya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺩْﺧُﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴِّﻠْﻢِ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻭَﻟَﺎ
ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ ﺧُﻄُﻮَﺍﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ۚ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻣُّﺒِﻴﻦٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kalian ke dalam
Islam secara total, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
ﻓَﺎﺳْﺘَﻘِﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﺃُﻣِﺮْﺕَ ﻭَﻣَﻦ ﺗَﺎﺏَ ﻣَﻌَﻚَ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻄْﻐَﻮْﺍ ۚ ﺇِﻧَّﻪُ
ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ ﺑَﺼِﻴﺮٌ
Artinya: “Istiqamahlah kamu pada jalan
yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah
tobat beserta kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Hud: 112)
ﺛُﻢَّ ﺟَﻌَﻠۡﻨَـٰﻚَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺷَﺮِﻳﻌَﺔٍ۬ ﻣِّﻦَ ﭐﻟۡﺄَﻣۡﺮِ ﻓَﭑﺗَّﺒِﻌۡﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻊۡ
ﺃَﻫۡﻮَﺍٓﺀَ ﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﺎ ﻳَﻌۡﻠَﻤُﻮﻥَ
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (rincian
aturan hidup yang harus dijalani) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺳْﺘَﺠِﻴﺒُﻮﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﻟِﻠﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺇِﺫَﺍ
ﺩَﻋَﺎﻛُﻢْ ﻟِﻤَﺎ ﻳُﺤْﻴِﻴﻜُﻢْ ۖ ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺤُﻮﻝُ ﺑَﻴْﻦَ
ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﻭَﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺗُﺤْﺸَﺮُﻭﻥَ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, sambutlah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kalian kepada sesuatu yang memberi
kehidupan kepada kalian. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah membatasi
antara manusia dan hatinya, dan
sesungguhnya kepada- Nyalah kalian
akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24)
Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala
berjanji kepada orang-orang yang
menerapkan agama Islam dalam
kehidupan ini dengan beriman dan
mengerjakan berbagai amalan saleh,
akan menjadikan mereka berkuasa di
muka bumi, meneguhkan mereka di
atas agama yang telah diridhai-Nya,
dan benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah ketakutan
menjadi aman sentosa. Hal ini
sebagaimana firman-Nya Subhanahu
wata’ala ,
ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ
ﻟَﻴَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔَﻨَّﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ
ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰٰ ﻟَﻬُﻢْ
ﻭَﻟَﻴُﺒَﺪِّﻟَﻨَّﻬُﻢ ﻣِّﻦ ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨًﺎ ۚ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻟَﺎ
ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ ۚ ﻭَﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻓَﺄُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ
ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ
Artinya: “Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di
antara kalian dan mengerjakan berbagai
amalan saleh, bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap beribadah hanya
kepada-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun
dengan Aku.” (an-Nur: 55)
Akhir kata, mengingat betapa mahalnya
nilai istiqamah di tengah kuatnya badai
fitnah baik syubhat maupun syahwat di
era globalisasi modern ini, sudah
saatnya bagi kita untuk kembali kepada
Allah Subhanahu wata’ala . Kembali
kepada-Nya dengan memegang erat-erat
agama Islam dan meniti jejak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya, kemudian bersatu di
atasnya. Itulah satu-satunya jalan
keselamatan di dunia dan di akhirat.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺍﻋْﺘَﺼِﻤُﻮﺍ ﺑِﺤَﺒْﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮﺍ ۚ ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ
ﻧِﻌْﻤَﺖَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﺫْ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀً ﻓَﺄَﻟَّﻒَ ﺑَﻴْﻦَ
ﻗُﻠُﻮﺑِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤْﺘُﻢ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻪِ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧًﺎ ﻭَﻛُﻨﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺷَﻔَﺎ
ﺣُﻔْﺮَﺓٍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻓَﺄَﻧﻘَﺬَﻛُﻢ ﻣِّﻨْﻬَﺎ ۗ ﻛَﺬَٰﻟِﻚَ ﻳُﺒَﻴِّﻦُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ
ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ
Artinya: “Dan berpegang teguhlah kalian
dengan tali (agama) Allah secara
bersama-sama dan jangan berceraiberai.
Ingatlah akan nikmat Allah yang telah
dicurahkan kepada kalian, ketika kalian
dahulu bermusuhan lalu Allah
menyatukan hati-hati kalian sehingga
kalian menjadi bersaudara dengan
nikmat tersebut, dan (juga) kalian
dahulu berada di tepi jurang neraka lalu
Allah selamatkan kalian darinya.
Demikianlah Allah Subhanahu wata’ala
menerangkan tanda-tanda kekuasaan-
Nya kepada kalian agar kalian mendapat
hidayah.” (Ali Imran: 103)
ﻭَﺍﺗَّﺒِﻌُﻮﻩُ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ
Artinya: “Dan ikutilah dia (Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam)
supaya kalian mendapatkan
petunjuk.” (al-A’raf: 158)
ﻓَﺈِﻥْ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺑِﻤِﺜْﻞِ ﻣَﺎ ﺁﻣَﻨﺘُﻢ ﺑِﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻫْﺘَﺪَﻭﺍ ۖ
Artinya: “Jika mereka beriman seperti
apa yang kalian (Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya)
beriman dengannya, sungguh mereka
akan mendapatkan hidayah.” (al-
Baqarah: 137)
Semoga ampunan, taufik dan hidayah
ilahi selalu mengiringi perjalanan hidup
kita.
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ ﺫُﻧُﻮﺑَﻨَﺎ ﻭَﺇِﺳْﺮَﺍﻓَﻨَﺎ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻭَﺛَﺒِّﺖْ
ﺃَﻗْﺪَﺍﻣَﻨَﺎ ﻭَﺍﻧﺼُﺮْﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ
Artinya: “Wahai Rabb kami ampunilah
dosa-dosa kami dan tindak-tanduk kami
yang keterlaluan dalam urusan kami,
dan teguhkanlah pendirian kami, serta
tolonglah kami atas kaum yang
kafir.” (Ali Imran: 147)
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com

Jumat, 24 Januari 2014

Menjauhkan Diri Dari Maksiat

ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ :
ﻣﺎ ﻫﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ ﻻﺟﺘﻨﺎﺏ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﻲ ﺑﺎﺭﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻜﻢ ؟
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ :
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺴﻠﻴﻢ ﺃﻧﻚ ﺗﺪﺍﻭﻡ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺗﺘﺪﺑﺮﻩ ﻛﺜﻴﺮﺍﺗﺘﺪﺑﺮ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻮﻋﺪ
ﻓﻬﺬﻩ ﺗﺸﻮﻗﻚ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺼﻨﻒ ﻭﻣﻦ ﺃﻫﻞ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻟﻬﺬﺍ ﺍﻟﻮﻋﺪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ،
ﻭﺗﻘﺮﺃ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ ﺑﺎﻟﻨﺎﺭ ﻭﺑﺎﻟﻐﻀﺐ ﻭﺑﺎﻟﺴﺨﻂ ﻭﺑﺎﻟﻌﻦ ،
ﻭﺗﺘﺬﻛﺮ ﻋﻈﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺟﻼﻟَﻪُ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻬﺬﺍ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻳُﺴﺎﻋﺪﻙ ﺛُﻢَّ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪﻙ ﺍﻟﺰﺍﺟﺮ ﺍﻷﻛﺒﺮ ﺃﻥ ﺗﻌﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺄﻧﻚ ﺗﺮﺍﻩُ ﻭﺗﺆﻣﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﺮﺍﻙ ﺩﺍﺋﻤﺎً ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻛﻞ ﺃﺣﻮﺍﻟﻚ ﻭﺃﻗﻮﺍﻟﻚ :ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻦَ ﻣﺎ ﻛـﻨﺘﻢ .
ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﺔٍ ﺇﻻّ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻭﻻ ﺧﻤﺴﺔٍ ﺇﻻّ ﻫﻮﺳﺎﺩﺳﻬﻢ ﻭﻻ ﺃﺩﻧﻰ ﻣﻦ ﺫﺍﻟﻚ ﻭﻻ ﺃﻛﺜﺮ ﺇﻻ ﻫﻢ ﻣﻌﻬﻢ .
ﻓﺄﻧﺖ ﺣﻴﻨﻤﺎ ﺗﻬُﻢ ﺑﻤﻌﺼﻴﺔ ﻭﺗﻘﻮﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻳﺮﺑﻲ ﻳﺮﺍﻧﻲ ، ﺗﺴﺘﺤﻲ ﻳﻌﻨﻲ ﺗﺨﺠﻞ ﻣﻦ ﺭﺅﻳﺔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﻴﻨﻤﺎ ﻳﺮﻭﻧﻚ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺗﺨﺎﻑ ﻭﺗﺴﺘﺤﻲ ﺗﺨﺎﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻭﻟﺔ ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﻓﻲ ﻃﺎﺋﻠﺔ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ ، ﻭﺗﺴﺘﺤﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻛﻴﻒ ﻻ ﺗﺴﺘﺤﻲ ﻣﻦ ﺭﺑِّﻚ ﺭﺏ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ ؟ !
ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﺗﺴﺘﺸﻌﺮ ﺍﻟﺨﺠﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺨﻮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻧﻪ ﻳُﺮﺍﻗﺒﻚَ ﺛﻢ ﺗﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺗﻘﺮﺃ ﻓﻲ ﺍﻟﺴُّﻨّﺔ ﻫﺬﻩ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﻠﺠﺄ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺗﻠﺠﺄ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﺪﻋﻮﻩُ ﺃﻥ ﻳُﺜﺒﺘﻚ ﻭﺃﻥ ﻳﻌﺼﻤﻚ ﻓﺈﺫﺍ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﻲ ﺧﻄﺄ ﻓﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺣﻞ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺗﺘُﻮﺏ ، ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻧﺖ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺣﺎﻝﺗﺴﺘﺤﻀﺮ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻭﺗﺘﺪﺑﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﻠﻨﺎﻩ ﻟﻚ ﻭﺗﺴﺘﺸﻌﺮ ﻣﺮﺍﻗﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺳﺒﺎﺏ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪﻗﻮﻳﺔ ﺟﺪًّﺍ ﻛﻔﻴﻠﺔ ﺑﺄﻥ ﺗﺤُﻮﻝ ﺑﻴﻨﻚ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻘﻊﻭﺍﻟﺘﻲ ﻳﺪﻓﻌﻚ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﻭﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻳﻌﻨﻲ ﺗﺤﺎﺭﺏ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﻭﺗﺤﺎﺭﺏ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ .
___________
ﻣﺠﻤﻮﻉ ﻛﺘﺐ ﻭﺭﺳﺎﺋﻞ ﻭﻓﺘﺎﻭﻯ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ
ﺭﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﻫﺎﺩﻱ ﺍﻟﻤﺪﺧﻠﻲ ﻡ / ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﺹ 140-139/

 Pertanyaan : Bagaimanakah cara menjauhkan diri dari maksiat ? semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu ....
Jawab : " Demi Allah jalan yg selamat adala hendaklah kamu selalu membaca Alquran dan banyak mentadabburnya
kamu perhatikan ayat-ayat tentang janji-janji Allah, yg seperti ini akan membuatmu rindu utk menjadi golongan yg akan mendapatkan janji-janji Allah dan menjadi pemilik bagian janji-janji Allah tsb dan termasuk orang-orang yg berhak mendapatkan janji-janji Allah yg besar ini ......
kamu juga membaca ayat-ayat ancaman akan neraka Nya, kemarahan Nya, kemurkaan Nya serta laknat Nya .......
kamu juga mengingat akan kebesaran Allah serta kemuliaan Nya subhanahu wata'ala .....
maka yg seperti ini insya Alla ta'ala akan membantumu, kemudian hendaklah ada padamu penghalang yg besar yakni kamu beribadah kpd Allah seolah-olah Allah melihatmu dan kamu imani bahwa Allah pasti melihatmu dan Dia juga mengetahui setiap keadaanmu dan perkataanmu dan Dia selalu bersama kalian dimanapun kalian berada, tidak ada tiga orang yg berbisik-bisik melainkan Allah yg keempatnya dan tidak jg lima orang melainkan Allah yg keenamnya dan tidak jg lebih sedikit ataupun lebih banyak melainkan Dia bersama mereka ......
dan kamu ketika kamu berkeinginan untuk melakukan maksiat, maka katakan pd dirimu : " Allah yg mengajarkan ku pasti melihatku " ....
kamu merasa malu thd manusia ketika mereka melihatmu melakukan perbuatan maksiat, kamu takut serta malu ..
kamu jg takut thd pemerintahmu akan kekuasaan mereka yg bisa utk memberikan hukuman kpdmu, dan kamu jg merasa malu dari anak-anak kecil yg mungkin melihatmu .....
lalu bagaimana kamu bisa tidak merasa malu thd Rabbmu, Rabb yg memiliki langit dan bumi ?? ........
wajib kamu merasa malu kepada Allah dan takut kepada Allah dan bahwasanya Allah senantiasa mengawasimu .......
kemudian hendaklah kamu membaca Alquran begitu juga sunnah, keadaan-keadaan seperti ini insya Allah akan membantumu .....
kamu juga berlindung kpd Allah, berdoa kepada Nya agar Ia mengokohkanmu dan menjagamu, apabila kamu terjatuh kedalam kesalahan maka tdk ada jalan kecuali kamu bertaubat .....akan tetapi kamu bagaimanapun keadaannya, hendaklah selalu menghadirkan makna-makna ini, kamu jg mentadabbur Alquran sesuai dengan cara yg kami katakan tadi, dan kamu selalu merasakan pengawasan Allah .....
seluruh sebab-sebab ini Insya Allah ta'ala sangat kuat sekali dan cukup sebagai penghalang diantaramu dan diantara maksiat yg terjadi, hawa nafsu dan syaithon lah yg mendorongmu utk berbuat maksiat maka perangilah hawa nafsumu dan syaithon itu .....

�� Majmuu' kutub wa rasaa'il wa fataawa
Fadhilatus Syaikh Al Allamah Robee' bin Hady Almadkholy hafizhohullahu ta'ala
jilid 14  hal 139 - 140

Pent : Abu Hudzaifah Ahmad riau
faedah WA Ta'zhiim Assunnah 1

Faedah Hadist Tata Cara


ﻋَﻦْ ﺣُﻤْﺮَﺍﻥَ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦِ
ﻋَﻔَّﺎﻥَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺭَﺃَﻯ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦَ ﻋَﻔَّﺎﻥَ
ﺩَﻋَﺎ ﺑِﻮَﺿُﻮﺀٍ ﻓَﺄَﻓْﺮَﻍَ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺪَﻳْﻪِ
ﻣِﻦْ ﺇِﻧَﺎﺋِﻪِ ﻓَﻐَﺴَﻠَﻬُﻤَﺎ ﺛَﻠَﺎﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ
ﺛُﻢَّ ﺃَﺩْﺧَﻞَ ﻳَﻤِﻴﻨَﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﺿُﻮﺀِ
ﺛُﻢَّ ﺗَﻤَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ
ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺜَﺮَ ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ
ﻭَﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤِﺮْﻓَﻘَﻴْﻦِ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﺛُﻢَّ
ﻣَﺴَﺢَ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻪِ ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻛُﻞَّ
ﺭِﺟْﻞٍ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ
ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ
ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻭَﻗَﺎﻝَ » ﻣَﻦْ
ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻧَﺤْﻮَ ﻭُﺿُﻮﺋِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺛُﻢَّ
ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻟَﺎ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ
ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻏَﻔَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ
ﺫَﻧْﺒِﻪِ « .
“Dari Humran mantan budak ‘Utsman bin
‘Affan, bahwa ia melihat ‘Utsman bin
‘Affan minta untuk diambilkan air wudhu.
Ia lalu menuang bejana itu pada kedua
tangannya, lalu ia basuh kedua tangannya
tersebut hingga tiga kali. Kemudian ia
memasukkan tangan kanannya ke dalam
air wudhunya, kemudian berkumur,
memasukkan air ke dalam hidung dan
mengeluarkannya. Kemudian membasuh
mukanya tiga kali, membasuh kedua
lengannya hingga siku tiga kali,
mengusap kepalanya lalu membasuh
setiap kakinya tiga kali. Setelah itu ia
berkata, “Aku telah melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu
seperti wudhuku ini, beliau lalu bersabda:
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku
ini, kemudian dia shalat dua rakaat dan
khusyu padanya, maka Allah mengampuni
dosanya yang telah lalu.” [HR. Al Bukhary
dan Muslim]
# Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Disunnahkan untuk membasuh kedua
telapak tangan diawal wudhu dan juga
sebelum memasukannya kedalam bejana.
Para ulama sepakat bahwa membasuh
telapak tangan diawal wudhu mustahab
(sunnah), sebagaimana yang dikatakan
oleh Al Imam An Nawawy. [Syarah Shahih
Muslim: 3/105].
✒ Catatan:
Telah lewat pada hadits keempat, bahwa
hukum mencuci telapak tangan setelah
bangun tidur malam adalah wajib.
Sehingga apabila seseorang bangun tidur
malam, kemudian ingin berwudhu maka
wajib bagi dia mencuci telapak tangannya
diawal wudhu. Namun jika dia tidak
dalam keadaan bangun tidur malam maka
mencuci telapak tangan diawal wudhu
adalah mustahab.
2. Bagian-bagian anggota wudhu yang
wajib adalah:
a. Membasuh muka.
b. membasuh kedua lengannya hingga
siku.
c. Mengusap kepala.
d. Membasuh kedua kaki.
Allah ta’ala berfirman:
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍْ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ
ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻓﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍْ ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ
ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ
ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍْ ﺑِﺮُﺅُﻭﺳِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ
ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴﻦِ {
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” [Al Maidah:6]
Empat kewajiban diatas telah diijma’kan
para ulama, sebagaimana dikatakan oleh
Imam An Nawawy, Ibnu Abdul Bar, Ibnu
Qudamah dan yang lainnya.
✒ Catatan:
Adapun permasalahan hukum berkumur-
kumur, istinsyaq (menghirup air dengan
kedua lubang hidungnya) dan istintsar
(mengeluarkan air yang telah dihirup)
telah lewat permasalahan ini pada hadits
keempat, alhamdulillah. Silahkan dilihat
kembali!
3. Membasuh anggota wudhu secara
tertib adalah wajib, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
tertib dalam membasuh anggota wudhu,
tidak pernah ternukilkan dari beliau
bewudhu dengan cara terbalik yaitu
mendahulukan kaki, kemudian mengusap
kepala dan seterusnya. Hal ini dikuatkan
pula dengan ayat wudhu dan hadits
diatas, yaitu mencuci telapak tangan lebih
dahulu, kemudian berkumur-kumur dan
istinsyaq serta isntistar, kemudian
membasuh muka, kemudian membasuh
tangan sampai siku, kemudian mengusap
kepala dan terakhir membasuh kaki
sampai mata kaki. Ini adalah pendapat Al
Imam Asy Syafi’i, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur
dan yang lainnya.
Sebagian ulama seperti Abu Hanifah,
Imam Malik dan yang lainnya berpendapat
mustahab, namun semua dalil-dalil yang
mereka pakai semuanya lemah. Sehingga
pendapat yang kuat dari sisi dalil-dalinya
adalah pendapat yang mengatakan wajib.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qayyim,
Ash Shan’any, Asy Syaukany, Syaikh Al
‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan Syaikhuna
Abdurrahman Al ‘Adeny.
4. Batas wajib dalam membasuh anggota
wudhu adalah satu kali. Adapun
membasuh dua atau tiga kali adalah
mustahab.
Imam Nawawy berkata: Para ulama
sepakat bahwa yang wajib (dalam
membasuh anggota wudhu) adalah satu
kali. [Syarh Al Muhadzab:1/437].
Dalil dalam permasalahan ini adalah
hadits Ibnu ‘Abbas:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗَﻮَﺿَﺄَّ ﻣَﺮَّﺓً ﻣَﺮَّﺓً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berwudhu’ sekali sekali (pada setiap
anggota wudhu).” [HR. Al Bukhary]
Masalah: Bolehkan kita membasuh
sebagian anggota wudhu sekali dan
sebagian yang lainnya dua atau tiga kali?
Ibnu Qudamah berkata: Jika membasuh
sebagian anggota wudhu sekali dan
sebagian yang lainnya lebih dari sekali
maka hal ini dibolehkan, karena apabila
boleh dilakukan pada semua anggota
wudhu, maka boleh pula dilakukan pada
sebagiannya. Dalam hadits Abdullah bin
Zaid (yang akan datang) bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh
muka tiga kali, kemudian membasuh
tangannya dua kali dan mengusap
kepalanya sekali. [Muttafaq 'alaih]. [Al
Mughni: 1/194]
Masalah: Bolehkan seseorang membasuh
anggota wudhu lebih dari tiga kali?
Berkata Imam An Nawawy: “Apabila lebih
dari tiga kali maka dia telah melakukan
perbuatan yang makruh, dan wudhunya
tidak batal. Ini adalah madzhab kami, dan
madzhabnya seluruh para ulama.” [Syarh
Al Muhadzab: 1/440]
Adapun Imam Ahmad dan Ishaq
berpendapat hal tersebut haram
dilakukan dan termasuk perbuatan
bid’ah. Dalil mereka:
ﻋَﻦْ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﺷُﻌَﻴْﺐٍ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ
ﻋَﻦْ ﺟَﺪِّﻩِ ﻗَﺎﻝَ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﻋْﺮَﺍﺑِﻲٌّ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳَﺴْﺄَﻟُﻪُ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀِ ﻓَﺄَﺭَﺍﻩُ
ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ: »
ﻫَﻜَﺬَﺍ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀُ ﻓَﻤَﻦْ ﺯَﺍﺩَ ﻋَﻠَﻰ
ﻫَﺬَﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺳَﺎﺀَ ﻭَﺗَﻌَﺪَّﻯ ﻭَﻇَﻠَﻢَ
« .
“Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya berkata; “Seorang Badui datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk bertanya perihal wudhu.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memperlihatkan kepadanya
cara berwudlu yang semuanya tiga kali –
tiga kali. Kemudian Beliau bersabda,
‘Beginilah cara berwudhu’.”Barang siapa
menambah lebih dari ini, dia telah berbuat
kejelekan dan melampaui batas, serta
berbuat dzalim’.” [HR. Ahmad, An Nasa'i
dan Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh Al
Albany dalam Ash Shahihah no 2980]
Dalam hadits ‘Aisyah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yg
tidak pernah kami tuntunkan maka
amalannya tertolak.” [HR. Muslim]
Sebagian ulama yang bermadzhab
syafi’iyah berpendapat bahwa wudhunya
batal jika lebih dari tiga kali.
5. Disunnahkan mendahulukan anggota
wudhu sebelah kanan. Dan akan kita
bahas lebih lanjut pada hadits kesembilan
insya Allah.
6. Disunnahkan menunaikan shalat dua
rakaat setiap selesai wudhu.
7. Keutaaman shalat selesai wudhu, yaitu
Allah mengampuni dosanya yang telah
lalu. Namun keutamaan ini dicapai
dengan tiga syarat:
a. Berwudhu sesuai dengan apa yang
dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.
b. Sholat dua rakaat atau lebih,
sebagaimana yang ditunjukan dalam
hadits Abu Hurairah:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺒِﻠَﺎﻝٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺻَﻠَﺎﺓِ
ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ : » ﻳَﺎ ﺑِﻠَﺎﻝُ ﺣَﺪِّﺛْﻨِﻲ
ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺩَﻑَّ
ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ «،
ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺃَﺭْﺟَﻰ
ﻋِﻨْﺪِﻱ ﺃَﻧِّﻲ ﻟَﻢْ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮْ ﻃُﻬُﻮﺭًﺍ
ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔِ ﻟَﻴْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻬَﺎﺭٍ ﺇِﻟَّﺎ
ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭِ ﻣَﺎ ﻛُﺘِﺐَ
ﻟِﻲ ﺃَﻥْ ﺃُﺻَﻠِّﻲَ.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu
ketika shalat Fajar (Shubuh): “Wahai
Bilal, ceritakan kepadaku amal yang
paling utama yang sudah kamu amalkan
dalam Islam, sebab aku mendengar di
hadapanku suara sandalmu dalam
surga”. Bilal berkata; “Tidak ada amal
yang utama yang aku sudah amalkan
kecuali bahwa jika aku bersuci
(berwudhu’) pada suatu kesempatan
malam ataupun siang melainkan aku
selalu shalat dengan wudhu’ tersebut
disamping shalat wajib”. [HR. Al Bukhary]
c. Khusyu dan menghadirkan dirinya
dihadapan Allah ta’ala dalam shalatnya.
✒ Catatan:
Barangsiapa shalatnya hanya satu rakaat
saja, maka dia tidak mendapatkan
keutamaan ini.
8. Dosa yang diampuni dengan shalat ini
adalah dosa-doosa kecil saja. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Dalil menunjukan
hal ini adalah hadits Abu Hurairah:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘُﻮﻝُ :
» ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲُ ﻭَﺍﻟْﺠُﻤْﻌَﺔُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠُﻤْﻌَﺔِ
ﻭَﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻣُﻜَﻔِّﺮَﺍﺕٌ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻦَّ ﺇِﺫَﺍ
ﺍﺟْﺘَﻨَﺐَ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮَ ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Shalat lima waktu dan shalat
Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan
Ramadlan ke Ramadlan berikutnya adalah
penghapus untuk dosa antara keduanya
apabila dia menjauhi dosa besar.” [HR.
Muslim]
✒ Catatan:
Adapun dosa-dosa besar maka
dibutuhkan dengan taubat nashuha.
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺗُﻮﺑُﻮﺍ
ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻮْﺑَﺔً ﻧَﺼُﻮﺣًﺎ ﻋَﺴَﻰ
ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﻋَﻨْﻜُﻢْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺗِﻜُﻢْ
ﻭَﻳُﺪْﺧِﻠَﻜُﻢْ ﺟَﻨَّﺎﺕٍ ﺗَﺠْﺮِﻱ ﻣِﻦْ
ﺗَﺤْﺘِﻬَﺎ ﺍﻟْﺄَﻧْﻬَﺎﺭُ ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻳُﺨْﺰِﻱ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣَﻌَﻪُ
ﻧُﻮﺭُﻫُﻢْ ﻳَﺴْﻌَﻰ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ
ﻭَﺑِﺄَﻳْﻤَﺎﻧِﻬِﻢْ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺃَﺗْﻤِﻢْ
ﻟَﻨَﺎ ﻧُﻮﺭَﻧَﺎ ﻭَﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﻋَﻠَﻰ
ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ {
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-
murninya). Mudah-mudahan Rabbmu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang
mu’min yang bersama dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Rabb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami
dan ampunilah kami; Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” [QS. At Tahrim: 8]
Pembahasan tentang sifat wudhu Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam akan kita
lengkapi insya Allah ta’ala pada hadits
kedelapan.
Wallohu a’lam wal muwaffiq ila ash
showab.
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin
Damiri Al Jawy_23 Muharram 1435/27
Nov 2013_di darul Hadits Al
Fiyusy_Harasahallah

Rabu, 22 Januari 2014

IBROH
Setiap Kali Teringat Dia,
Dunia Ini Terasa Tidak Ada Harganya
KISAH YANG MENAKJUBKAN TENTANG IKHLASH
Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan
kisahnya:
“Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa
paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat
istisqa’ di Al-Masjid Al-Haram. Saya bergabung
dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani
Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam
yang membawa dua potong pakaian yang terbuat
dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai
sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di
pundaknya. Dia mencari tempat yang agak
tersembunyi di samping saya. Maka saya
mendengarnya berdoa, “Ya Allah, dosa-dosa yang
banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk
telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi
suram, dan Engkau telah menahan hujan dari
langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-
Mu. Maka aku memohon kepada-Mu wahai Yang
pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab,
wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak
mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka
hujan sekarang.”
Dia terus mengatakan, “Berilah mereka hujan
sekarang.” Hingga langit pun penuh dengan awan
dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia
masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih,
sementara saya pun tidak mampu menahan air
mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya
maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui
di mana tempat tinggalnya. Lalu saya pergi
menemui Fudhail bin Iyyadh. Ketika melihat saya
maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat
dirimu nampak sangat sedih?” Saya jawab,
“Orang lain telah mendahului kita menuju Allah,
maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita
tidak.” Dia bertanya, “Apa maksudnya?” Maka
saya pun menceritakan kejadian yang baru saja
saya saksikan. Mendengar cerita saya, Fudhail
bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu
menahan rasa haru. Lalu dia pun berkata, “Celaka
engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya
menemuinya!” Saya jawab, “Waktu tidak cukup
lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita
tentangnya.”
Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh
saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya
lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya
sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah
alas yang digelar. Ketika dia melihat saya maka
dia pun langsung mengenali saya dan
mengatakan, “Marhaban (selamat datang –pent)
wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?”
Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak
hitam.” Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa
budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan
dari mereka?” Lalu dia pun berteriak memanggil
budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak
yang kekar. Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang
bagus, saya ridha untuk Anda.” Saya jawab, “Ini
bukan yang saya butuhkan.”
Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu
kepada saya hingga keluarlah budak yang saya
lihat kemarin. Ketika saya melihatnya maka saya
pun tidak kuasa menahan air mata. Tuannya
bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda
inginkan?” Saya jawab, “Ya.” Tuannya berkata
lagi, “Dia tidak mungkin dijual.” Saya tanya,
“Memangnya kenapa?” Dia menjawab, “Saya
mencari berkah dengan keberadaannya di rumah
ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi
beban bagi saya.” Saya tanyakan, “Lalu dari
mana dia makan?” Dia menjawab, “Dia
mendapatkan setengah daniq (satu daniq =
sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih
dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan
sehari-harinya. Kalau dia sedang tidak berjualan,
maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-
budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa
pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit.
Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak
yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun
telah mencintainya.”
Maka saya katakan kepada tuannya tersebut,
“Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury
dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan
saya.” Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda
kepada saya merupakan perkara yang besar,
kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!”
Maka saya pun membelinya dan saya
membawanya menuju ke rumah Fudhail bin
Iyyadh.
Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu
bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!” Saya
jawab, “Labbaik.” Dia berkata, “Jangan katakan
kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang
lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada
tuannya.” Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai
orang yang kucintai?” Dia menjawab, “Saya orang
yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi
pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang
bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah
ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan
saya kepada Anda.” Saya jawab, “Allah tidak
akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan,
tetapi saya akan membelikan rumah dan
mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri
yang akan menjadi pelayanmu.”
Dia pun menangis hingga saya pun bertanya,
“Apa yang menyebabkanmu menangis?” Dia
menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini
kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku
dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa
Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang
lain?!” Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal
ini.” Dia pun berkata, “Saya meminta dengan
nama Allah agar Anda memberitahukan kepada
saya.” Maka saya jawab, “Semua ini saya
lakukan karena engkau orang yang terkabul
doanya.” Dia berkata kepada saya,
“Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda
adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan
yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan
mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang
Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka
kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.” Kemudian
dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya
sebentar, karena masih ada beberapa rakaat
shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?”
Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah
dekat.” Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya
sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak
boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke
masjid melalui pintu halaman depan.
Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa
yang dia inginkan.
Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya
berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, apakah Anda
memiliki keperluan?” Saya jawab, “Kenapa engkau
bertanya demikian?” Dia menjawab, “Karena saya
ingin pergi jauh.” Saya bertanya, “Ke mana?” Dia
menjawab, “Ke akherat.” Maka saya katakan,
“Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa
senang dengan keberadaanmu!” Dia menjawab,
“Hanyalah kehidupan ini terasa indah ketika
hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak
diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah Anda
mengetahuinya, maka orang lain akan ikut
mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak
butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan
tadi.” Kemudian dia tersungkur sujud seraya
berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku
segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!” Maka
saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah
meninggal dunia. Maka demi Allah, tidaklah saya
mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan
yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya
lagi bagi saya.”
(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul
Jauzy, 8/223-225)
Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?
showtopic=140725

Forward dari Abu Aulia - TIS

Selasa, 14 Januari 2014

Sayyid Quthub Pencela Shahabat

ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Abu Sa’id Al-Khudri z berkata: Nabi n bersabda:
“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3673, Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2541, oleh Al-Imam An-Nawawi diberi nama bab-nya Tahrimu Sabbish Shahabah g (Haramnya mencela shahabat Nabi g), Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4658, Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3861, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya  3/11, 54, 63.
Sabda Nabi n:
“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
menjelaskan bahwa apabila salah seorang dari kalian menginfaqkan semisal gunung Uhud berupa emas, niscaya pahala infaqnya itu tidak akan mencapai pahala dan keutamaan yang diperoleh shahabat dari infaq yang mereka berikan berupa satu mud makanan atau setengahnya,  karena infaq shahabat itu disertai dengan keikhlasan yang lebih dan baiknya niat. Juga karena infaq yang mereka keluarkan dalam keadaan mereka itu lebih membutuhkannya karena keadaan mereka yang serba kekurangan, banyak kebutuhan dan kepentingan yang darurat. (Aunul Ma‘bud, 12/269)
Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, infaq para shahabat lebih utama karena infaq tersebut dikeluarkan pada saat darurat dan keadaan yang sempit, berbeda halnya dengan infaq selain mereka. Juga infaq mereka itu dikeluarkan untuk menolong dan melindungi Rasulullah, yang perkara ini jelas tidak terjadi sepeninggal Rasulullah. Demikian pula jihad mereka dan seluruh amalan ketaatan mereka. Allah I telah berfirman:
“Tidaklah sama di antara kalian, orang yang menginfaqkan hartanya dan berperang sebelum Al-Fathu1 dengan orang yang selain mereka. Mereka itu lebih besar derajatnya di sisi Allah  daripada orang-orang yang berinfaq dan berjihad setelah itu….” (Al-Hadid: 10)
Hal ini juga disertai dengan apa yang ada dalam jiwa mereka berupa rasa kasih sayang, cinta, khusyu, tawadhu’, mengutamakan orang lain (daripada diri mereka sendiri) dan jihad fi sabilillah dengan sebenar-benarnya. Dan keutamaan/kemuliaan bersahabat dengan Rasulullah, walau hanya sebentar tidak dapat diimbangi oleh satu amalan pun. Derajat ini tidak dapat dicapai dengan sesuatu pun, dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Penjelasan Hadits
Tatkala terjadi perselisihan antara Khalid ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka Khalid pun mencerca Abdurrahman. Sementara Abdurrahman lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid, bahkan ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun. Maka Rasulullah n menegur Khalid dengan sabda beliau di atas. Hadits di atas menunjukkan kepada kita semua tentang haramnya mencela para shahabat Nabi , sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebagai penamaan bab di dalam Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi .
Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk memperbolehkan pencelaan terhadap mereka. Karena apabila larangan mencela ini ditujukan kepada shahabat yang belakangan masuk Islam terhadap shahabat yang terdahulu dalam keimanan, sementara kedua-duanya memiliki keutamaan shuhbah (bershahabat dengan Rasulullah ) kita dapati perkataan Rasulullah n yang menunjukkan kejelekan pelakunya dan jeleknya hasil dari perbuatan ini.
Dan bila sesama shahabat saja dilarang saling mencela, lalu bagaimana kiranya bila yang mencela itu bukan shahabat? Atau malah orang yang tidak mempunyai keutamaan sama sekali dari kalangan Zanadiqah (kelompok zindiq), Rawafidh (Syi’ah), serta para pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah? Kira-kira apa gerangan yang akan diucapkan dan dihukumkan Rasulullah terhadap orang-orang tersebut, dan bagaimana besarnya sanksi serta ‘iqab (hukuman) beliau n terhadap pelaku perbuatan tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengapa Rasulullah melarang Khalid mencela shahabat-shahabat beliau sementara Khalid  juga termasuk shahabat beliau? Dan akhirnya beliau menyatakan demikian:
Hal ini karena Abdurrahman bin ‘Auf dan yang semisalnya adalah termasuk As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) yang menjadi shahabat beliau n, di mana pada saat itu Khalid  dan semisalnya masih memusuhi beliau. Mereka, para As-Sabiqunal Awwalun, menginfaqkan harta mereka dan berjihad sebelum Fathu (perjanjian Hudaibiyyah). Dan mereka ini lebih tinggi derajatnya daripada shahabat yang berinfaq dan berjihad setelah Fathu. Namun masing-masing Allah berikan kebaikan.
Sehingga shahabat seperti Abdurrahmanzdan semisalnya memiliki kelebihan dalam hubungan persahabatannya dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh Khalidz dan shahabat semisalnya dari kalangan mereka yang ber-Islam dan berperang setelah Fathu. Maka Rasulullah  n pun melarang  mencela mereka yang bersahabat dengan Nabi sebelum Fathu.
Siapa saja yang sama sekali tidak pernah menjadi shahabat Rasulullah, maka perbandingan dia dengan orang yang menjadi shahabat Rasulullah seperti perbandingan Khalid dengan para shahabat yang terdahulu masuk Islam, bahkan orang tersebut tidak ada kadarnya bila dibandingkan dengan kemuliaan Khalid z dan para shahabatnya g.” (Ash-Asharimul Maslul `ala Syatimir Rasul, hal. 576)
Al-Imam ‘Ali Al-Qari menyatakan sangat dimungkinkan pembicaraan dalam hadits ini ditujukan untuk umat secara  umum, tidak dibatasi hanya shahabat yang berselisih tersebut. Yang dengan cahaya nubuwwah, Rasulullah n mengetahui bahwa perbuatan semisal ini akan terjadi pada ahlul bid‘ah. Maka beliaupun melarang mereka dengan hadits ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 10/246)
Keutamaan Shahabat tidak Bisa Dicapai oleh Siapapun
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa keutamaan bersahabat dengan Rasulullah meski hanya sebentar tidak bisa dibandingkan dengan satu amalan pun. Tidak dapat dicapai derajat ini dengan sesuatu pun dan keutamaan itu tidak dapat diambil dengan qiyas, yang demikian itu merupakan keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang diinginkan-Nya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Sehingga apapun amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang datang setelah para shahabat, tidaklah dapat mencapai derajat para shahabat dari sisi shuhbah (persahabatan) mereka dengan Rasulullah n dan keutamaan mereka pernah bergaul dengan beliau, hadir di majelisnya, mendengarkan wejangannya dan pengajarannya dalam waktu lama ataupun sebentar, apalagi menyertai beliau dalam berjihad meninggikan kalimat Allah, menolong dakwah beliau dengan pengorbanan jiwa dan harta.
Jelas keutamaan seperti ini tidak dapat diraih oleh selain shahabat, sampai pun derajat shahabat yang paling rendah2 tidak akan bisa diraih atau shahabat yang hanya sesaat melihat Nabi n, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Abbas  berkata: “Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad . Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi n lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada  ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)
Ibnu Mas‘ud berkata: “Sesungguhnya Allah melihat ke hati-hati hamba-Nya, maka Allah dapatkan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati hamba setelah hati Muhammad, maka Allah dapatkan hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Allah pun menjadikan mereka sebagai penolong nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya. Apa yang dipandang oleh kaum muslimin (para shahabat) baik maka itu baik di sisi Allah dan apa yang mereka pandang jelek maka itu jelek di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad, 1/380 dan atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 470)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras berkata: “Para shahabat itu pantas untuk mendapatkan kecintaan dan pemuliaan karena keutamaan mereka, terdepannya mereka dalam beriman dan kekhususan mereka  menjadi shahabat Rasulullah. Bersamaan dengan itu, mereka telah berbuat baik kepada umat ini karena merekalah yang menyampaikan seluruh apa yang datang dari Rasul mereka. Tidak sampai pada seseorang satu ilmu pun atau satu berita pun melainkan dengan perantaraan para shahabat.” (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 166)
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi setelah membawakan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah tentang kedudukan dan keutamaan shahabat, beliau berkata: “Berita-berita yang semakna dengan ini begitu luas, seluruhnya bercocokan dengan berita yang ada dalam nash Al Qur`an. Semua itu mengandung konsekuensi kesucian shahabat dan kepastian tentang kebaikan serta kebersihan mereka. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang membutuhkan pengakuan dari satu makhluk pun berkenaan tentang kebaikan mereka ketika Allah I  telah menetapkan hal tersebut terhadap mereka karena Dia jua-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam batin mereka.”
Beliau juga mengatakan: “Seandainya  tidak datang satu keterangan dari Allah dan Rasul-Nya tentang para shahabat dari apa yang telah kami sebutkan, niscaya keadaan yang mereka alami dan hadapi berupa hijrah, jihad, menolong agama Allah dan Rasul-Nya, pengorbanan darah dan harta (untuk membela agama Allah, pen.), membunuh bapak dan anak-anak mereka (yang masih kafir ketika berhadapan di medan laga, pen.), saling menasehati dalam agama, kekuatan iman dan yakin, cukuplah semua itu sebagai kepastian tentang kelurusan mereka dan untuk meyakini kesucian mereka. Mereka itu lebih utama selama-lamanya dari seluruh orang yang dianggap baik dan seluruh orang yang disucikan, dari kalangan orang-orang yang datang setelah mereka.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 48-49)
Hukum Mencela Shahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Mencela shahabat Rasulullah n adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Mencela shahabat g adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin, pen.) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Abu Zur‘ah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah n, maka ketahuilah orang itu adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah n itu haq di sisi kita, demikian pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau n. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)
Adapun bentuk sanksi ataupun ‘iqab yang diberikan bagi orang yang mencela shahabat, diperselisihkan para ulama. Ada yang menvonis  harus dibunuh, ada yang tidak. Jumhur ulama sendiri berpandangan orang yang berbuat demikian diberi hukuman ta`zir3 dan tidak dibunuh. Sementara sebagian Malikiyyah berpendapat orang itu dibunuh. (Syarhu Shahih Muslim, 16/93)
Al-Imam Ahmad berpendapat orang yang mencela salah seorang dari shahabat Rasulullah , baik dari kalangan ahlul bait ataupun selain mereka, maka hukumannya dengan dipukul keras, dan beliau tawaqquf4 dalam masalah membunuh dan mengkafirkan orang yang berbuat demikian. Ada yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan hal itu maka  ia harus diberikan “pelajaran”, dihukum dan diminta bertaubat. Bila ia bertaubat maka diterima taubatnya, namun bila ia mengulangi maka diberikan hukuman dan dipenjara selama-lamanya sampai mati atau bertaubat.
Demikian dihikayatkan hal ini oleh Al-Imam Ahmad dari ahlul ilmi yang pernah beliau jumpai. Dan Al-Kirmani menghikayatkannya dari Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Humaidi, Sa’id bin Manshur dan selain mereka.
Al-Harits bin ‘Utbah berkata: “Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsmanz.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya:  “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi. Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz  memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.”
Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi n maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Semua atsar kami nukilkan dari kitab Ash-Sharimul Maslul, hal. 567, 568, 569,  karya  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebagai kesimpulannya, mencela shahabat itu ada tiga macam:
Pertama: mencela para shahabat Nabi n dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi n yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq. Dalam Al Qur`an Allah I berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi n adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Kedua: mencela  shahabat dengan melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi, yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa yang diucapkannya.
Ketiga: mencela shahabat dengan perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya. (Ash-Sharimul Maslul  hal. 586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)
Sosok Sayyid Quthb sebagai Pencela Shahabat
Kita telah mengetahui betapa tinggi dan mulianya kedudukan para shahabat dengan persaksian Allah I dan Rasul-Nya n sehingga tidak boleh mengarahkan celaan kepada mereka, bahkan wajib bagi kita untuk tidak membicarakan kejelekan mereka. Kita harus menyakini bahwa sekalipun mereka punya kesalahan maka kesalahan itu terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebaikan yang ada pada mereka. Bila salah seorang dari mereka punya satu dosa maka ia mungkin sudah bertaubat dari dosa tersebut, atau ia telah melakukan kebaikan yang banyak yang dengan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau ia telah diampuni oleh Allah dengan keutamaannya terdahulu masuk Islam atau dengan syafaat Nabi n dan para shahabat adalah orang-orang yang paling berhak mendapatkan syafaat beliau n, atau ia telah ditimpa  ujian dan cobaan ketika di dunia yang dengan itu akan menjadi kaffarah bagi dosanya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya, hal. 175)
Namun lihatlah seorang yang bernama Sayyid Quthub yang mencela para shahabat Nabi n, buta mata hatinya dari melihat keutamaan dan kemuliaan yang dimiliki oleh para shahabat, sehingga dengan berani dan lancangnya Sayyid mencerca dan mencela mereka. Di antara cercaan Sayyid kepada para shahabat Rasulullah n, sebagaimana yang dapat kami sebutkan berikut ini:
1. Ia menjelekkan shahabat yang mulia, menantu Rasulullah n yang digelari Dzun Nuraini (karena pernah mempersunting dua putri beliau n) Amirul Mukminin ‘Utsman z, dengan tidak menganggap masa kekhilafahannya. Ia menyatakan dengan lisannya yang buruk: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah Syaikhain sebelumnya (yakni Abu Bakar dan ‘Umar c, -pen.) dan sesungguhnya masa ‘Utsman merupakan celah di antara keduanya.” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah, hal. 206)
Ia menuduh bahwa gambaran tentang hakikat hukum Islam mengalami perubahan pada masa pemerintah ‘Utsman. Ia berkata: “Sungguh termasuk aspek yang buruk, ‘Utsman menemui masa khilafahnya dalam keadaan ia telah tua renta, lemah semangatnya untuk meneguhkan Islam dan lemah keinginannya untuk menyumbat makar Marwan dan makar Umayyah yang datang dari belakangnya.” (hal. 186)
Dituduhnya pula ‘Utsman dengan tuduhan dusta bahwa beliau tidak baik pengaturannya dalam masalah harta kaum muslimin, mengutamakan keluarganya untuk memimpin manusia dengan pernyataannya: “Utsman rahimahullah memahami bahwa keberadaannya sebagai imam menganugerahkannya kebebasan dalam mengatur  harta kaum muslimin, ia bebas memberi dan menghadiahkan. Sehingga di kebanyakan kesempatan ia memberikan harta tersebut kepada orang yang dijadikannya sebagai pimpinan dalam perpolitikan. Bila tidak demikian, maka dalam perkara apa engkau menjadi imam/ pimpinan? Sebagaimana ‘Utsman dianugerahi kebebasan untuk membawa Bani Mu’ith dan Bani Umayyah dari kalangan kerabatnya untuk memimpin manusia, dan di kalangan keluarganya ini ada Al-Hakam (ibnul ‘Ash) yang pernah diusir oleh Rasulullah. Hal itu semata-mata dilakukannya karena ia menganggap bahwa termasuk kewajibannya adalah memuliakan keluarganya, berbuat baik pada mereka dan menjaga/ memperhatikan mereka.”  (hal. 186)
Sebagaimana ia menuduh ‘Utsman telah menyimpang dari ruh Islam dengan pernyataannya: “Sungguh para shahabat (ketika itu) memandang bahwa (apa yang terjadi di masa ‘Utsman) merupakan penyimpangan dari ruh Islam, maka mereka pun saling memanggil kembali ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah (yakni ‘Utsman z,,,, pen) dari ujian. Sementara khalifah dalam ketuaan dan kerentaannya tidak dapat menguasai perkaranya dari Marwan. Sungguh termasuk perkara yang sulit bagi kita untuk menjelekkan ruh Islam pada diri ‘Utsman, namun termasuk perkara yang sulit juga bagi kita untuk memaafkannya dari kesalahan, yang kesalahannya ini bertemu dengan kejelekan dalam kepemimpinan khilafahnya, sementara dia adalah orang  tua yang tidak berdaya yang diliputi oleh keburukan Umayyah.” (hal. 187)5
Bahkan Sayyid Quthb ini memuji pemberontakan yang dilakukan terhadap Khalifah ‘Utsman dengan menyatakan: “Pada akhirnya meletuslah pemberontakan terhadap ‘Utsman. Tercampurlah dalam pemberontakan itu Al-Haq dengan Al-Bathil, kebaikan dengan kejelekan. Namun orang yang melihat perkara dengan mata Islam dan merasakan perkara dengan ruh Islam, mau tidak mau akan menetapkan bahwa pemberontakan itu dalam keumumannya lebih dekat kepada ruh Islam dan mengarah pada ruh Islam daripada tindakan ‘Utsman, atau lebih lembut dan halus daripada tindakan Marwan dan Bani Umayyah yang ada di belakangnya.” (hal. 189)6
2. Orang ini tidak berhenti sampai di situ, ia juga mencela para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan Ahli Badr, Bai’atur Ridhwan dan ahlu syura. Ia berkata: “Sungguh termasuk perkara yang sudah menjadi kodrat bahwasanya orang-orang yang mencari manfaat ini tidaklah ridha terhadap ‘Ali z dan mereka tidak rela dengan syariat persamaan hak (yang ia maksudkan adalah kaum Muhajirin, -pen.) Demikian pula orang-orang yang melanggar keutamaan dan menginginkan monopoli (yang dimaksudkannya adalah kaum Anshar, –pen.). Mereka ini pun pada akhirnya bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok Umayyah, di mana di dalamnya mereka bisa mencari muka untuk memenuhi ambisi mereka.” (hal. 193).
3. Ia menukil berita dusta dan mengada-ada yang disandarkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah  kepada  para shahabat Rasulullah n. Sayyid berkata:  “Cukuplah bagi kami untuk  menampilkan contoh kemewahan yang sangat yang dibawakan oleh Al-Mas’udi7 (seorang Syi’ah yang hasad kepada para shahabat Rasulullah n,, pen). Al-Mas’udi berkata: “Pada masa ‘Utsman, para shahabat mengumpulkan sawah ladang dan harta. ‘Utsman pada hari terbunuhnya, didapatkan dalam simpanan hartanya ada sekitar 150 ribu dinar dan ribuan dirham. Sementara nilai sawah ladangnya yang ada di Wadi Al-Qura, Hunain dan selainnya sekitar 100 ribu dinar. Dia juga meninggalkan unta dan kuda yang banyak. Adapun Az-Zubair, harta peninggalannya setelah wafatnya mencapai harga 50 ribu dinar dan ia meninggalkan 1.000 ekor kuda dan 1.000 budak perempuan. Adapun Thalhah maka hasil buminya dari negeri Iraq mencapai 1.000 dinar setiap hari dan dari Nahiyatus Sarah lebih banyak lagi. Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf di tempat pertambatannya ada 1.000 ekor kuda, ia juga punya 1.000 ekor unta, 10 ribu ekor kambing, dan seperempat dari peninggalan hartanya setelah wafatnya mencapai 84 ribu. Lain lagi Zaid bin Tsabit, ia meninggalkan emas dan perak yang bisa memecahkan kapak-kapak. Di samping itu ia juga meninggalkan harta yang lain dan sawah ladang. Az-Zubair membangun rumahnya di Bashrah, juga di Mesir, Kufah dan Iskandariyah. Thalhah juga demikian, ia membangun rumahnya di Kufah dan memperindah rumahnya di Madinah dengan membangunnya dengan kapur, batu bata dan pohon jati. Sa’d bin Abi Waqqash membangun rumahnya di ‘Aqiq, meninggikan atap/tiangnya dan meluaskan halamannya…” (Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah hal.  209-210) dan seterusnya dari ucapan Syi’i yang  penuh kedustaan.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Orang yang memikirkan dengan mendetail tindakan-tindakan Sayyid Quthub dan tata caranya serta mengetahui madzhabnya niscaya akan tahu bahwa Sayyid Quthub ini seorang pencela, sehingga ‘Umar z pun akan terkena celaannya, karena sepanjang hidupnya ‘Umar melebihkan (sebagian muslimin) dalam pemberian. Melebihkan satu dari yang lain yang dijalankan oleh ‘Umar ini, merupakan kezaliman dalam pandangan Sayyid Quthub. Hanya saja ia meninggalkan cercaan kepada ‘Umar sebagai penyamaran dari satu sisi dan agar bisa menjalankan doktrin sosialis pada sisi yang lain. Orang yang memikirkan dengan teliti dan memahami ucapan Sayyid Quthub akan tahu  bahwa ia mengharuskan pemerintah/ penguasa untuk merampas/ mengambil dengan paksa harta-harta umat dan membaginya dengan cara sosialis-marxis.”8
4. Ia mencela  Mu’awiyah dan  ‘Amr ibnul ‘Ash c, dan bersikap ghuluw terhadap ‘Ali z. Ia berkata dalam kitabnya Kutub wa Syakhshiyyat (hal. 242-243): “Mu’awiyah dan temannya yang bernama ‘Amr tidaklah mengalahkan ‘Ali dikarenakan keduanya lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh jiwa-jiwa manusia dan lebih memahami untuk bertindak dengan tindakan yang bermanfaat yang sesuai sikon daripada ‘Ali. Akan tetapi mereka berdua bisa memerangi dan mengalahkan ‘Ali dikarenakan bebasnya mereka menggunakan setiap kotoran dan makar, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam memilih sarana-sarana bergumul. Tatkala Mu’awiyah dan temannya ini cenderung kepada dusta, tipu daya, nifaq, sogok menyogok dan jual beli hak/ kehormatan, ‘Ali pun tidak dapat turun mengikuti mereka ke derajat yang paling rendah ini. Maka tidaklah heran keduanya sukses sedangkan ‘Ali gagal, namun kegagalan itu lebih mulia dari seluruh kesuksesan.”9
Masih banyak lagi cercaan, tuduhan dan dugaan jelek yang dilemparkan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasulullah n. Namun pemaparan di atas cukuplah sebagai gambaran bagi kaum muslimin akan kejahatan Sayyid Quthub terhadap para shahabat .
Asy-Syaikh Rabi‘ hafizhahullah berkata: “Demikianlah Sayyid Quthub mengarahkan cercaan yang zalim dan tuduhan yang penuh dosa kepada para shahabat tanpa hujjah, bukti, petunjuk dan ilmu serta tanpa sumber terpercaya kecuali sekedar khayalannya yang tumbuh dari aqidah sosialisnya yang ghuluw dan kecuali dari racun-racun yang diminumnya sampai puas dari sumber-sumber Rafidhah dan pengajaran-pengajaran  orang-orang sosialis.” (Adhwa’u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah )
Dan tentunya akan lebih adil kalau kita juga melihat bagaimana aqidah Sayyid dan pemikirannya, agar menjadi jelas bagi kita siapa sebenarnya dia dan apa bandingannya dengan para shahabat  mulia yang dicercanya?
1. Aqidah wihdatul wujud dan hululiyyah Dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur`an (6/4003-4004) tentang tafsir surat Al-Ikhlas, ia berkata:  “Sesungguhnya alam ini adalah kesatuan wujud. Tidak ada di sana hakikat kecuali hakikat-Nya. Dan tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Maka seluruh wujud yang lain hanyalah bersandar wujudnya kepada Wujud yang hakiki itu.” Ucapannya ini, jelas sekali menunjukkan pemahaman wihdatul wujud.
Demikian pula ucapannya: “Islam menginginkan agar manusia menempuh jalan menuju hakikat ini. Manusia itu merasakan penderitaan dalam menjalani kenyataan hidup, namun bersamaan dengan itu mereka mestinya merasakan bahwasanya tidak ada hakikat kecuali Allah dan tidak ada wujud kecuali wujud-Nya.”
Ia juga membela aqidah Nirwana10 yang dianut oleh pemeluk Hindu Budha.11
2.  Meremehkan dakwah para rasul yang hanya berpusat pada larangan beribadah kepada berhala (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114), sementara ia sendiri tidak mengingkari kesyirikan yang dilakukan di kuburan-kuburan12.
3. Menolak sifat-sifat Allah I sebagaimana kelompok bid‘ah Jahmiyyah, seperti ketika ia menolak sifat istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya di saat menafsirkan surat Yunus ayat 1 (Fi Zhilalil Qur`an, 3/1762-1763). Ia menganggap sifat-sifat Allah itu hanyalah sekadar makna yang tidak ada hakikatnya.13
4.   Menganggap Al Qur`an itu bukan kalamullah tetapi makhluk, dalam Fi Zhilalil Qur`an (5/2715): “Akan tetapi mereka tidak kuasa untuk menyusun satu surat pun yang semisal kitab Al Qur`an ini karena kitab ini adalah buatan Allah bukan buatan manusia.”14
5.   Mencela Nabiyullah Musa u dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an (hal.  200-204) bahwa Nabi Musa adalah seorang pemimpin yang membela ‘ashabiyyah qaumiyyah (fanatik golongan/suku), seorang yang emosional tidak sabaran, tidak memiliki ketenangan. Ia berjanji tidak akan menjadi penolong orang-orang yang berbuat dosa, namun perbuatannya menyelisihi janjinya dengan membantu seseorang dari kaumnya yang berkelahi dengan seseorang dari kaum Fir’aun, ia meminta kepada Allah dengan permintaan yang tidak pantas.15
6. Seorang sufi yang ghuluw dan berbahaya dengan pernyataannya: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, (aku beribadah kepada-Mu) bukan karena takut dari neraka-Mu dan bukan pula karena ingin masuk ke dalam surga-Mu”, dalam kitabnya At-Tashwirul Fanni fil Qur`an.
Pemikiran seperti ini disebutkan oleh sebagian Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pemikiran seorang zindiq.16
Dan masih banyak lagi model penyimpangan orang ini, namun beberapa contoh di atas cukuplah mewakili gambaran tentang Sayyid Quthub. Namun ternyata dengan kebobrokan dan borok menjijikkan yang ada padanya, tidaklah membuatnya malu dan minder untuk tampil mencerca para shahabat yang mulia.
Mungkin sekelompok manusia akan menyalahkan kita, karena kita menjelekkan Sayyid Quthub pencela shahabat Nabi . Sementara katanya, dia adalah seorang yang punya banyak jasa terhadap Islam, dia gugur sebagai syahid, dia begini, dia begitu dan seterusnya dari sederet pujian untuk si Sayyid. Lalu orang itu memberikan pembelaan terhadap Sayyid Quthub karena ghirahnya terhadap tokoh nyeleneh dan bebal17 ini. Maka kita katakan kepadanya sebagaimana ucapan Asy-Syaikh Rabi’18 hafizhahullah: “Wahai sekalian muslimin, di mana ghirah kalian terhadap aqidah Islamiyyah (yang dirusak oleh orang seperti Sayyid Quthub)? Di mana ghirah kalian terhadap tokoh-tokoh umat ini (para shahabat Rasulullah n yang dicela oleh Sayyid Quthub)? Di mana sikap kalian bila dibandingkan dengan sikap salaful ummah terhadap orang yang mencela shahabat Rasulullah n? Dan sampai kapan kalian sabar menanggung kezaliman, kelaliman dan penganiayaan ini?”
Wallahul musta’an.

1 Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Al-Fathu di sini. Mayoritas ulama menafsirkan dengan pembukaan kota Makkah. Adapun Asy-Sya’bi dan yang lain menafsirkan dengan Perjanjian Hudaibiyah.
2 Para shahabat itu memang berbeda-beda derajat, keutamaan dan kemuliaannya, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq lebih utama dari shahabat-shahabat yang lain, kemudian setelahnya para Al-Khulafa` Ar-Rasyidun yang lain, dan seterusnya. (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah beserta syarahnya, hal. 167-169)
3 Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)
4 Mendiamkan, tidak memberikan pendapat
5 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-14 Ramyu ‘Utsman bil inhiraf ‘an ruhil Islam
6 Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah pasal ke-15 Sayyid Quthb yara anna ats-tsaurah al-lati qadaha Ibnu Saba` Al-Yahudi aqrabu ila ruhil islam min ‘Utsman bin ‘Affan.
7 Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Bila pembaca merujuk pada kitab Al-Mas‘udi niscaya akan mengetahui bahwa Al-Mas‘udi membawakan kedustaan ini untuk mencela shahabat-shahabat besar tersebut.” (Adhwa` Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min Utsman wa mu‘dhamis shahabah
8 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
9 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-2 Mauqif Sayyid min ‘Utsman wa mu‘zhamis shahabah
10 Nirwana maknanya selamat, yakni selamatnya ruh yang terus menerus mengalami perbaikan di tengah peredaran dan perputarannya dalam menitis ke tubuh-tubuh manusia. Ketika telah selamat, ruh ini tidak butuh lagi untuk menitis karena ia telah selamat dari perjalanan tersebut dan telah menyatu dengan Sang Pencipta. Ia telah meninggalkan jasad di alam materi dan masuk ke alam yang kekal abadi. Derajat Nirwana atau tercapainya keselamatan itu merupakan tujuan tertinggi dalam kehidupan bagi penganut Hindu dan Budha.
11 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-9 Qaul Sayyid Quthub bi ‘aqidah wihdatul wujud wal hulul wal jabr, karya Asy-Syaikh Rabi‘ Al-Madkhali, Al-’Awashim Mimma fi Kutub Sayyid Quthb minal Qawashim pasal ke-5, karya Asy-Syaikh Rabi’ dan makalah Asy-Syaikh Rabi’ berjudul: Qaul Sayyid Quthb bi ‘Aqidah Wihdatul Wujud wal Hulul wal Jabr wa Difa‘uhu ‘an-Aqidah An-Nirfana Al-Hindukiyyah Al-Budziyyah
12 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi, pasal ke-6 Asy-syirku wa ‘ibadatul awtsan ‘inda Sayyid waman sara nahjihii
13 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-10 Ghuluw Sayyid fi ta‘thil sifatillah kama huwa sya’nu Jahmiyyah dan  Makalah Asy-Syaikh Rabi‘ berjudul: Min Ushuli Sayyid Quthub Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafis Shalih
14 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal ke-8 Qaulu Sayyid bi khalqil Qur’an wa anna kalamillahi ‘ibaratun anil iradah
15 Adhwa`u Islamiyyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi pasal pertama Adabu Sayyid ma‘a rasulillah dan kalimillah Musa ‘alaihis shalatu wa sallam
16 Makalah Syaikh Rabi‘: Min Ushuli Sayyid Quthb Al-Bathilah Al-Mukhalafah Li Ushuli As-Salafish Shalih
17 Dikatakan demikian karena telah dinasehati oleh Asy-Syaikh Mahmud Syakir agar tidak mencela shahabat, namun Sayyid malah membenarkan perbuatannya mencela shahabat. (Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah)
18 Muqaddimah cetakan kedua kitab Matha‘in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah
diambil dari http://asysyariah.com/sayyid-qutb-pencela-shahabat.html


di posting dari salafy.or.id